RSS

Senin, 24 Agustus 2015

Istinjak



(Fasal) menjelaskan tentang istinja’ dan etika-etika orang yang buang hajat.
(فَصْلٌ) فِي الْاِسْتِنْجَاءِ وِآدَابِ قَاضِي الْحَاجَةِ.

Istinja’, yang diambil dari kata “najautus syai’a ai qhatha’tuhu” (aku memutus sesuatu) karena seakan-akan orang yang melakukan istinja’ telah memutus kotoran dari dirinya dengan istinja’ tersebut, hukumnya adalah wajib dilakukan sebab keluarnya air kencing atau air besar dengan menggunakan air atau batu dan barang-barang yang semakna dengan batu, yaitu setiap benda padat yang suci, bisa menghilangkan kotoran dan tidak dimuliakan oleh syareat.


(وَالْاِسْتِنْجَاءُ) وَهُوَ مِنْ نَجَوْتُ الشَّيِئَ أَيْ قَطَعْتُهُ فَكَأَنَّ الْمُسْتَنْجِيَ يَقْطَعُ بِهِ الْآذَى عَنْ نَفْسِهِ (وَاجِبٌ مِنْ) خُرُوْجِ (الْبَوْلِ وَالْغَائِطِ) بِالْمَاءِ أَوِ الْحَجَرِ وَمَا فِيْ مَعْنَاهُ مِنْ كُلِّ جَامِدٍ طَاهِرٍ قَالِعٍ غَيْرِ مُحْتَرَمٍ.

Akan tetapi yang lebih utama adalah pertama istinja’ dengan batu, kemudian kedua diikuti dengan istija’ menggunakan air.


(وَ) لَكِنِ (الْأَفْضَلُ أَنْ يَسْتَنْجِيَ) أَوَّلًا (بِالْأَحْجَارِ ثُمَّ يُتْبِعُهَا) ثَانِيًا (بِالْمَاءِ).

Dan yang wajib -ketika istinja’ dengan batu- adalah tiga kali usapan, walaupun dengan tiga sudutnya batu satu.


وَالْوَاجِبُ ثَلَاثُ مَسَحَاتٍ وَلَوْ بِثَلَاثَةِ أَطْرَافِ حَجَرٍ وَاحِدٍ.

Bagi orang yang istinja’, diperkenankan hanya menggunakan air atau tiga batu yang digunakan untuk membersihkan tempat najis, jika tempat tersebut sudah bisa bersih dengan tiga batu.


(وَيَجُوْزُ أَنْ يَقْتَصِرَ) الْمُسْتَنْجِي (عَلَى الْمَاءِ أَوْ عَلَى ثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ يُنْقَى بِهِنَّ الْمَحَلُّ) إِنْ حَصَلَ الْإِنْقَاءُ بِهَا.

Jika belum bersih, maka ditambah usapannyahingga tempatnya bersih.


وَإِلَّا زَادَ عَلَيْهَا حَتَّى يُنْقَى.

Dan setelah itu -setelah bersih- disunnahkan untuk mengulangi tiga kali.


وَيُسَنُّ بَعْدَ ذَلِكَ التَّثْلِيْثُ.

Ketika ia hanya ingin menggunakan salah satunya, maka yang lebih utama adalah menggunkan air. Karena sesungguhnya air bisa menghilangkan najisnya sekaligus sisa-sisanya.


(فَإِذَا أَرَادَ الْاِقْتِصَارَ عَلَى أَحَدِهِمَا فَالْمَاءُ أَفْضَلُ) لِأَنَّهُ يُزِيْلُ عَيْنَ النَّجَاسَةِ وَأَثَرَهَا.

Syarat istinja’ menggunakan batu bisa mencukupi adalah najis yang keluar belum kering, tidak berpindah dari tempat keluarnya dan tidak terkena najis lain yang tidak sejenis (ajnabi).
وَشَرْطُ إِجْزَاءِ الْاِسْتِنْجَاءِ بِالْحَجَرِ أَنْ لَايَجِفَّ الْخَارِجُ النَّجَسُ وَلَا يَنْتَقِلَ عَنْ مَحَلِّ خُرُوْجِهِ وَلَايَطْرَأَ عَلَيْهِ نَجَسٌ آخَرُ أَجْنَبِىيٌّ عَنْهُ.

Jika salah satu syarat di atas tidak terpenuhi, maka harus istinja’ menggunakan air.
فَإِنِ انْتَفَى شَرْطٌ مِنْ ذَلِكَ تَعَيَّنَ الْمَاءُ.



Etika yang Wajib Bagi Orang yang Buang Hajat



Bagi orang yang buang hajat di tempat yang lapang, wajib untuk menghidar dari menghadap dan membelakangi kiblat yang sekarang, yaitu Ka’bah.


(وَيَجْتَنِبُ) وُجُوْبًا قَاضِي الْحَاجَةِ (اسْتِقْبِالَ الْقِبْلَةِ) الْآنَ وَهِيَ الْكَعْبَةُ (وَاسْتِدْبَارَهَا فِي الصَّحْرَاءِ)

Jika antara dia dan kiblat tidak ada satir, atau ada satir namun ukurannya tidak mencapai 2/3 dzira’, atau mencapai 2/3 dzira’ namun jaraknya dari dia lebih dari tiga dzira’ dengan ukuran dzira’nya anak Adam, sebagaimana yang diungkapkan oleh sebagian ulama’.


إِنْ لَمْ يَكُنْ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ سَاتِرٌ أَوْ كَانَ وَلَمْ يَبْلُغْ ثُلُثَيْ ذِرَاعٍ أَوْ بَلَغَهُمَا وَبَعُدَ عَنْهُ أَكْثَرَ مِنْ ثَلَاثَةِ أَذْرُعٍ بِذِرِاعِ الْآدَمِيِّ كَمَا قَالَهُ بَعْضُهُمْ.

Dalam hal ini, hukum buang hajat di dalam bangunan sama seperti di tanah lapang yaitu dengan syarat yang telah dijelaskan, kecuali bangunan yang memang disediakan untuk buang hajat, maka tidak ada hukum haram secara mutlak di sana.


وَالْبُنْيَانُ فِيْ هَذَا كَالصَّحْرَاءِ بِالشَّرْطِ الْمَذْكُوْرِ إِلَّا الْبِنَاءَ الْمُعَدَّ لِقَضَاءِ الْحَاجَةِ فَلَا حُرْمَةَ فِيْهِ مُطْلَقًا.

Dengan ucapanku “kiblat yang sekarang”,mengecualikan tempat yang menjadi kiblat terdahulu seperti Baitul Maqdis, maka hukum menghadap dan membelakanginya adalah makruh.
وَخَرَجَ بِقَوْلِنَا الْآنَ مَا كَانَ قِبْلَةً أَوْلًّا كَبَيْتِ الْمَقْدِسِ فَاسْتِقْبَالُهُ وَاسْتِدْبَارُهُ مَكْرُوْهٌ.



Etika Yang Sunnah Bagi Orang Yang Buang Hajat






Bagi orang yang buang hajat, sunnah menghindari kencing dan berak di air yang diam tidak mengalir.


(وَيَجْتَنِبُ) نَدْبًا قَاضِي الْحَاجَةِ (الْبَوْلَ) وَالْغَائِطَ (فِي الْمَاءِ الرَّاكِدِ)

Adapun air yang mengalir, maka di makruhkan buang hajat di air mengalir yang sedikit tidak yang banyak, akan tetapi yang lebih utama adalah menghindarinya.


أَمَّا الْجَارِيْ فَيُكْرَهُ فِي الْقَلِيْلِ مِنْهُ دُوْنَ الْكَثِيْرِ لَكِنِ الْأَوْلَى اجْتِنَابُهُ.

Namun imam an Nawawi membahas bahwa hukumnya haram buang hajat di air yang sedikit, baik yang mengalir atau diam.


وَبَحَثَ النَّوَوِيُّ تَحْرِيْمَهُ فِي الْقَلِيْلِ جَارِيًا أَوْ رَاكِدًا.

Dan juga sunnah bagi orang yang buat hajat untuk menghindari kencing dan berak di bawah pohon yang bisa berbuah, baik di waktu ada buahnya ataupun tidak.


(وَ) يَجْتَنِبُ أَيْضًا الْبَوْلَ وَالْغَائِطَ (تَحْتَ الشَّجَرَةِ الْمُثْمِرَةِ) وَقْتَ الثَّمْرَةِ وَغَيْرِهِ.

Dan sunnah menghindari apa telah disebutkan di atas di jalan yang dilewati manusia.


(وَ) يَجْتَنِبُ مَا ذُكِرَ (فِي الطَّرِيْقِ) الْمَسْلُوْكِ لِلنَّاسِ.

Dan di tempat berteduh saat musim kemarau. Dan di tempat berjemur saat musim dingin.


(وَ) فِيْ مَوْضِعِ (الظِّلِّ) صَيْفًا وَفِيْ مَوْضِعِ الشَّمْسِ شِتَاءً.

Dan di lubang yang ada di tanah, yaitu lubang bulat yang masuk ke dalam tanah. Lafadz “ats tsaqbu” tidak dicantumkan di dalam sebagianredaksi matan.


(وَ) فِي (الثَّقْبِ) فِي الْأَرْضِ وَهُوَ النَّازِلُ الْمُسْتَدِيْرُ وَلَفْظُ الثَّقْبِ سَاقِطٌ فِيْ بَعْضِ نُسَخِ الْمَتْنِ.

Orang yang buang hajat hendaknya tidak berbicara tanpa ada darurat saat kencing dan berak karena untuk menjaga etika.


(وَلَايَتَكَلَّمُ) أَدَبًا لِغَيْرِ ضَرُوْرَةٍ قَاضِي الْحَاجَةِ (عَلَى الْبَوْلِ وَالْغَائِطِ).

Jika keadaan darurat menuntut untuk berbicara seperti orang yang melihat seekor ular yang hendak menyakiti seseorang, maka saat sepertiitu tidak dimakruhkan untuk berbicara.


فَإِنْ دَعَتْ ضَرُوْرَةٌ إِلَى الْكَلَامِ كَمَنْ رَأَى حَيَةً تَقْصِدُ إِنْسَانًا لَمْ يُكْرَهِ الْكَلَامُ حِيْنَئِذٍ.

Tidak menghadap dan membelakangi matahari dan rembulan. Maksudnya, bagi orang yang buang hajat dimakruhkan melakukan hal itu saat buang hajat.


(وَلَا يَسْتَقْبِلُ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَلَا يَسْتَدْبِرُهُمَا) أَيْ يُكْرَهُ لَهُ ذَلِكَ حَالَ قَضَاءِ حَاجَتِهِ.

Akan tetapi di dalam kitab ar Raudlah dan Syarh al Muhadzdzab, imam an Nawawi berpendapat bahwa sesungguhnya membelakangi matahari dan rembulan -saat buang hajat- tidaklah dimakruhkan.


لَكِنِ النَّوَوِيُّ فِي الرَّوْضَةِ وَشَرْحِ الْمُهَذَّبِ قَالَ أَنَّ اسْتِدْبَارَهُمَا لَيْسَ بِمَكْرُوْهٍ.

Di dalam kitab syarh al Wasiht, beliau berkata bahwa sesungguhnya tidak menghadap dan tidak membelakangi keduanya adalah sama, maksudnya hukumnya mubah.


وَقَالَ فِيْ شَرْحِ الْوَسِيْطِ أَنَّ تَرْكَ اسْتِقَبَالِهِمَا وَاسْتِدْبَارِهِمَا سَوَاءٌ أَيْ فَيَكُوْنُ مُبَاحًا.

Di dalam kitab at Tahqiq, beliau berkata bahwa sesungguhnya kemakruhan menghadap matahari dan rembulan tidak memiliki dalil.


وَقَالَ فِي التَّحْقِيْقِ أَنَّ كَرَاهَةَ اسْتِقْبَالِهِمَا لَا أَصْلَ لَهَا.

Ungkapan mushannif, “dan tidak menghadap ila akhir” tidak tercantum di dalam sebagian redaksimatan.
وَقَوْلُهُ وَلَا يَسْتَقْبِلُ إِلَخْ سَاقِطٌ فِيْ بَعْضِ نُسَخِ الْمَتْنِ .

Benda-Benda Najis

Suatu benda menurut hukum aslinya adalah suci selama tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa benda itu najis. Adapun benda-benda yang termasuk najis itu banyak dan diantaranya adalah berikut ini:
Benda-Benda Termasuk Najis
Gambar najis anak kecil
Bangkai binatang darat yang berdarah selain dari mayat manusia
Adapun bangkai binatang laut, seperti ikan dan bangkai binatang darat yang tidak berdarah ketika masih hidupnya, seperti belalang serta mayat manusia, semuanya suci. Hal tersebut  tidak termasuk dalam arti bangkai yang umum, berikut keterangannya:

Bagian bangkai, seperti daging, kulit, tulang, urat, bulu dan lemaknya, semuanya itu najis menurut mazhab Syafi’i. Menurut mazhab Hanafi, yang najis hanya bagian-bagian yang mengandung roh (bagian-bagian yang bernyawa) saja, seperti daging dan kulit. Bagian-bagian yang tidak bernyawa, seperti kuku, tulang, tanduk, dan bulu, semuanya itu suci. Bagian-bagian yang tak bernyawa dari anjing dan babi tidak termasuk najis.

Dalil kedua mazhab tersebut adalah:

Mazhab pertama mengambil dalil dari makna umum bangkai, karena bangkai itu sesuatu yang tersusun dari bagian-bagian tersebut. Firman Allah Swt:
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai.” (Al-Maidah:3)

Mazhab kedua beralasan dengan hadis Maimunah, Sabda Rasulullah Saw:
“Sesungguhnya yang haram ialah memakannya. “ Pada riwayat lain ditegaskan bahwa yang haram ialah “dagingnya” (Riwayat Jamaah ahli hadis)

Adapun dalil bahwa mayat manusia itu suci adalah firman Allah Swt:
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam (manusia).” (Al-Isra’:70)

Adapun arti dimuliakan itu hendaklah jangan dianggap sebagai kotoran (najis). Lagipula seandainya mayat manusia itu najis, tentulah kita tidak disuruh memandikannya, karena kita tidaklah disuruh mencuci najis-najis ‘ain lainnya, bahkan najis-najis ‘ain lainnya itu tidak dapt dicuci. Maka suruhan kepada kita untuk memandikan mayat itu adalah suatu tanda bahwa mayat manusia bukan najis, hanya ada kemungkinan terkena najis sehingga kita disuruh memandikannya.

Darah
Segala macam darah itu najis, selain hati dan limpa. Firman Allah Swt:
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah dan daging babi.” (Al-Maidah: 3)

Sabda Rasulullah Saw:

“Telah dihalalkan bagi kita dua macam bangkai dan dua macam darah: ikan dan belalang, hati dan limpa.” (Riwayat Ibnu Majah)

Dikecualikan juga darah yang tertinggal di dalam daging binatang yang sudah disembelih, begitu juga darah ikan. Kedua macam darah ini diperbolehkan.

Nanah
Segala macam nanah itu najis, baik yang kental maupun yang cair, karena nanah itu merupakan darah yang sudah busuk.

Segala benda yang keluar dari dua pintu
Semua itu najis selain dari mani, baik yang biasa seperti tinja dan air kencing, atau yang tidak biasa, seperti mazi, baik dari hewan yang halal dimakan maupun yang tidak halal dimakan.

Sabda Rasulullah Saw:
Sesungguhnya Rasulullah Saw diberi dua iji batu dan sebuah tinja keras untuk dipakai istinja’. Beliau mengambil dua batu saja, sedangkan tinja, beliau kembalikan dan berkata. “Tinja ini najis.” (Riwayat Bukhari)

Ketika orang Arab Badui buang air kecil di dalam masjid, beliau bersabda, “ Tuangilah olehmu tempat kencing itu dengan setimba air.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Arak, Setiap minuman keras yang memabukkan
Firman Allah Swt:
“Sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk berhala), mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji, termasuk perbuatan setan.” (Al-Maidah: 90)

Anjing dan Babi
Semua hewan suci kecuali anjing dan babi. Rasulullah bersabda:
“Cara mencuci bejana seseorang dari kamu apabila dijilat anjing, hendaklah dibasuh tujuh kali, salah satunya hendaklah dicampur dengan tanah.” (Riwayat Muslim)

Mencuci sesuatu disebabkan tiga perkara: 1) karena hadas, 2) karena najis dan 3) karena kehormatannya. Di mulut anjing sudah tentu tidak ada hadas dan juga kehormatan. Oleh sebab itu, pencuciannya hanya karena najis. Babi dikiaskan (disamakan) dengan anjing karena keadaannya lebih buruk daripada anjing.

Bagian badan binatang yang diambil dari tubuhnya selagi hidup
Hukum bagian-bagian badan binatang yang diambil selagi hidup ialah seperti bangkainya. Maksudnya, kalau bangkainya najis, maka yang dipotong itu juga najis, seperti babi. Kalau bangkainya suci, yang dipotong sewaktu hidupnya pun suci pula, seperti yang diambil dari ikan hidup. Dikecualikan bulu hewan yang halal dimakan, hukumnya suci.
Firman Allh Swt:
“Dan (dijadikan-Nya pula) dari bulu domba, bulu unta dan bulu kambing, alat-alat rumah tangga.” (An-Nahl: 80)

Semua najis tidak dapat dicuci, kecuali arak. Jika ia sudah menjadi cuka dengan sendirinya, maka ia menjadi suci apabila sudah cukup syarat-syaratnya. Begitu juga kulit bangkai, dapat menjadi suci dengan cara disamak. Lebih lengkapnya akan diterangkan kemudian.

Macam-Macam Air


 

I. Air Mutlak.
Adalah air yang suci, tidak tercampur apapun di dalamnya, sehingga bisa digunakan untuk mensucikan. Seluruh ulama sepakat, bahwa air mutlak bisa digunakan untuk bersuci. Tidak ada perbedaan pendapat mengenai hal tersebut. Apa saja yang disebut air mutlak ini..?
a. Air hujan, salju atau es, dan air embun, berdasarkan firman Allah Taala:
Dan diturunkan-Nya padamu hujan dari langit buat menyucikanmu.(Al-Anfal: 11)
Dan firman-Nya:
Dan Kami turunkan dan langit air yang suci lagi mensucikan. (Al-Furqan:48)
Juga berdasarkan hadits Abu Hurairah r.a. katanya:
Adalah Rasulullah saw. bila membaca takbir di dalam sembahyang diam sejenak sebelum membaca Al-Fatihah, maka saya tanyakan: Demi kedua orangtuaku wahai Rasulullah! Apakah kiranya yang Anda baca ketika berdiamkan diri di antara takbir dengan membaca Al-Fatihah? Rasulullah pun menjawab:
Saya membaca: Ya Allah, jauhkanlah daku dari dosa-dosaku sebagaimana Engkau inenjauhkan Timur dan Barat. Ya Allah bersihkanlah daku sebagaimana dibersihkannya kain yang putih dan kotoran. Ya Allah, sucikanlah daku dan kesalahan-kesalahanku dengan salju, air dan embun. (H.R. Jamaah kecuali Turmudzi)
b. Air laut, berdasarkan hadits Abu Hurairah r.a. katanya:
Seorang laki-laki menanyakan kepada Rasulullah, katanya: Ya Rasulullah, kami biasa berlayar di lautan dan hanya membawa air sedikit. Jika kami pakai air itu untuk berwudhuk, akibatnya kami akan kehausan, maka bolehkah. kami berwudhuk dengan air laut? Berkatalah Rasulullah saw.:
Laut itu airnya suci lagi mensucikan(2), dan bangkainya halal dimakan. (Diriwayatkan oleh Yang Berlima)
Berkata Turmudzi: Hadits ini hasan lagi shahih, dan ketika kutanyakan kepada Muhammad bin Ismail al-Bukhari tentang hadits ini, jawabnya ialah: Hadits itu shahih.
c. Air telaga, karena apa yang diriwayatkan dan Ali r.a.: Artinya:
Bahwa Rasulullah saw. meminta seember penuh dan air zamzam, lalu diminumnya sedikit dan dipakainya buat berwudhuk. (H.r. Ahmad)
d. Air yang berobah disebabkan lama tergenang atau tidak mengalir, atau disebabkan bercampur dengan apa yang menurut ghalibnya tak terpisah dari air seperti kiambang dan daun-daun kayu, maka menurut kesepakatan ulama, air itu tetap termasuk air mutlak. Alasan mengenai air semacam ini ialah bahwa setiap air yang dapat disebut air secara mutlak tanpa kait, boleh dipakai untuk bersuci. Firman Allah Taala:
Jika kamu tiada memperoleh air, maka bertayammumlah kamu! (Al-Maidah: 6)
II. Air Musta’mal
Air musta’mal adalah air yang sudah dipakai/digunakan. Perbedaan pendapat (khilafiyah) di kalangan ulama terjadi saat menentukan apakah air musta’mal itu suci dan mensucikan ataukah suci tetapi tidak mensucikan muthohhir).
Dan perbedaan ini terjadi dikarenakan sudut pandang yang berbeda mengenai dalil yang ada, dan dalil tersebut juga sama2 shahih. Jadi, tidak perlu diperdebatkan dan diperuncing masalah perbedaan yang ada, yang penting sekarang adalah, menyikapi perbedaan yang ada dengan sikap yang arif, seperti para Imam Madzhab yg muktabar terdahulu menyikapi perbedaan pendapat di antara mereka.
Perbedaan pendapat (khilafiyah) yang ada mengenai “Air Musta’mal” adalah sebagai berikut :
a. Pendapat Yang Mengatakan Air Musta’mal adalahSuci Tetapi Tidak Mensucikan.
Dalil yang digunakan oleh ulama yang berpegang pada pendapat ini adalah :
Dari seorang sahabat nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang wanita (istri) mandi dengan air bekas mandi laki-laki (suami), atau laki-laki (suami) mandi dengan air bekas mandi wanita (istri), dan hendaknya mereka berdua menciduk air bersama-sama.”
Dikeluarkan oleh Abu Dawud, An Nasa-i, dan sanad-sanadnya shahih.
Dalil di atas dengan jelas menggambarkan bahwa air bekas digunakan dilarang untuk digunakan bersuci.
“Janganlah seseorang dari kalian mandi di air yang diam (tidak mengalir), sedang ia dalam keadaan junub.”.
Ketika orang2 menanyakan : “Wahai Abu Huraeroh, lantas bagaimana ia harus berbuat,”. Beliau menjawab : “Dengan menceduk”.
Dari hadits di atas dapat diambil pengertian, bahwa mandi mencebur dalam air dapat menghilangkan sifat mensucikannya air itu sendiri.
b. Pendapat Yang Mengatakan Air Musta’mal adalah Suci dan Mensucikan.
Dalil yang digunakan oleh ulama yang berpegang pada pendapat ini adalah :
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu : “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mandi dengan air bekas mandinya Maimunah radiyallahu ‘anha. (HR. Muslim no. 323).
Oleh ashabus sunan, “sebagian istri-istri nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- (Maimunah) mandi di dalam bak. Lalu beliau datang untuk mandi dengan airnya. Lalu Maimunah berkata, “Saya sedang junub”, lalu beliau bersabda, “sesungguhnya air tidak tercemar oleh junub”.
Hadits tersebut menerangkan tentang bolehnya menggunakan air musta’mal untuk bersuci. Bagaimana hubungannya dengan hadits larangan mandi di air yang tidak mengalir dan hadits larangan mandi air bekas mandi sebelumnya..?!
untuk melakukan kompromi atas hadits-hadits tersebut di atas, maka ulama yang mendukung pendapat air musta’mal bisa digunakan untuk bersuci mengatakan bahwa “larangan” pada hadits yg berbicara tentang larangan mandi menggunakan air bekas mandi di atas adalah larangan tanzih (makruh), tidak sampai hukum “haram”. Karena hadits-hadits di atas sama-sama shahih, maka harus dikompromikan.
Berarti mandi dengan air bekas mandi sebaiknya tidak dilakukan jika masih bisa ditemukan air yang jauh lebih bersih. Tetapi, jika kondisi tidak memungkinkan, maka air bekas boleh digunakan untuk bersuci dan bisa mensucikan. Menurut ilmu kedokteran/kesehatan pun hal ini dilarang.
Selain itu larangan tersebut juga mengandung hikmah di dalamnya, yaitu kebersihan lebih diutamakan dalam melakukan thoharoh (bersuci).
Dalam menghadapi kondisi hadits shahih yang seolah-olah bertentangan tersebut, beberapa cara yang biasa dilakukan ulama, yaitu dengan cara melakukan kompromi atau menghukumi sebuah hadits itu dengan hukum hadits syadz, yaitu bertentangan dengan hadits lain yg lebih shahih atau yang lebih mutawatir lainnya.
Hadits-hadits lain yang dianggap mendukung pendapat “air musta’mal bisa digunakan untuk bersuci” adalah sebagai berikut :
“Dulu di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam laki-laki dan perempuan, mereka semua pernah menggunakan bekas wudhu mereka satu sama lain.” (HR. Bukhari no. 193)
Penjelasan hadits ini sama dengan penjelasan hadits di atas. Kesimpulannya adalah, larangan yang ada di hadits sebelumnya adalah larangan tanzih (makruh). Karena larangan Rasulullah bisa berupa larangan yang bersifat haram dan larangan yang bersifat Makruh (tidak disukai).
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengusap kepalanya dengan bekas air wudhu yang berada di tangannya.”( HR. Abu Daud no. 130, hadits hasan, yang menerangkan tentang cara wudhu’ Rasulullah)
Berkata Ibnul Mundzir: Diriwayatkan dari Hasan, Ali, Ibnu Umar, Abu Umamah, Atha, Makhul dan Nakhai bahwa mereka berpendapat tentang orang yang lupa menyapu kepalanya lalu mendapatkan air di janggutnya: Cukup bila ia menyapu dengan air itu. Ini menunjukkan bahwa air mustamal itu mensucikan.
Dengan dasar hadits di atas, maka air musta’mal bisa digunakan untuk bersuci.
Dari hadits tentang adab-adab wudhu yang diajarkan Utsman bin Affan, Dari Humran maula Ustman bahwa dia melihat Utsman meminta air wudhu:
Lalu dia menuangkan air dari bejana ke kedua telapak tangannya lalu mencuci keduanya sebanyak tiga kali. Kemudian dia memasukkan tangan kanannya ke dalam air wudhu lalu berkumur-kumur, istinsyaq (menghirup air ke hidung) dan istintsar (mengeluarkannya). Kemudian dia mencuci wajahnya tiga kali lalu kedua tangan sampai ke siku sebanyak tiga kali. Kemudian dia mengusap kepalanya lalu mencuci kedua kakinya sebanyak tiga kali. Kemudian setelah selesai dia (Utsman) berkata, “Saya melihat Nabi -shallallahu alaihi wasallam- berwudhu seperti wudhu yang saya lakukan ini.” (Muttafaqun ‘alaih).
Menurut hadits di atas, cara wudhu Rasulullah adalah memasukkan tangan ke dalam bejana, yang menurut keterangan isi bejana tersebut 1 mud saja, kemungkinan besar air bekas wudhu beliau masuk ke dalam bejana tersebut mengikuti tangan beliau yang masuk lagi ke dalam bejana. Bukan dengan cara air dialirkan, tetapi tangan beliau masuk lagi ke dalam bejana.
Karena saat memasukkan tangan itu air bekas wudhu bisa lagi masuk ke dalam bejana, maka air dalam bejana tersebut bisa disebut air musta’mal. Ternyata air tersebut bisa digunakan untuk berwudhu.
III. Air Yang Bercampur Najis
Ada dua pendapat sehubungan dengan air yang bercampur dengan najis ini.
1.Pendapat yang mengatakan, air menjadi najis karena tercampuri najis jika air itu sedikit, walaupun tidak merubah bau, rasa, atau warna air tersebut. Pendapat ini dipegang oleh Imam Hanafi, Imam Syafi’i dan Imam Hmbali.
Masalah jumlah air yang sedikit tersebut, berapa batasannya..?! ada dua pendapat juga mengenai batasan jumlah air tersebut.
Sedikitnya air menurut Abu Hanifah adalah air yang jika digerakkan di satu ujung wadahnya, maka ujung lainnya juga ikut bergerak.
Adapun sedikitnya air menurut madzhab Syafi’i dan Ahmad (Hanabilah) adalah air yang kurang dua kullah. Ini sesuai hadits :
Dari Abdullah bin Umar radiyallahu ‘anhuma dia berkata (bahwa) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “jika air mencapai dua kullah, maka (air tersebut) tidak mengandung kotoran [najis]”. Dalam lafadz lain: “(air tersebut) tidak ternajisi.” ( Dikeluarkan oleh imam yang empat, dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, Al Hakim, dan Ibnu Hibban)
Hadits tersebut memang ada yang memandang hadits mudhthorib (simpang siur/kacau) dari sisi sanad (perawi) maupun matan (materi). Tetapi ada pula yang mengatakan shahih. Diantara ulama yang menshahihkan hadits ini adalah Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Ibnu Mandzah, At Thohawi, An Nawawi, Adz Dzahabi, Ibnu Hajar, Asy Suyuthi, Ahmad Syakir, dll.
2. Pendapat yang mengatakan bahwa, jika air tidak merubah bau, rasa, atau warnanya, maka air tersebut tidak najis (suci).
Ini adalah pula pendapat dan Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Hasan Basri, Ibnul Musaiyab, Ikrimah, Ibnu Abi Laila, Tsauri, Daud Azh-Zhahiri, Nakhai, Malik dan lain-lain.
Pendapat ini berdasarkan hadits Nabi :
Seorang badui berdiri lalu kencing di masjid. Orang-orang pun sama berdiri untuk menangkapnya. Maka bersabdalah Nabi saw: Biarlah dia, hanya tuangkanlah pada kencingnya setimba atau seember air! Kamu dibangkitkan adalah untuk memberi keentengan/kemudahan, bukan untuk menyukarkan. (Hr. Jamaah kecuali Muslim)
Dari hadits di atas, bisa diambil kesimpulan, bahwa air yang sedikit tetapi bisa menghilangkan bau, rasa dan warnanya, maka air tersebut bisa mensucikan.
Atau hadits :
Dikatakan orang : Ya Rasulullah, bolehkah kita berwudhuk dari telaga Budha’ah? Maka bersabdalah Nabi saw.: Air itu suci lagi mensucikan, tak satu pun yang akan menajisinya. (H.r. Ahmad, Syafii, Abu Daud, Nasai dan Turmudzi).
Hadits tersebut disebut hadits Bi’ru Bidho’ah (Telaga Bidho’ah).
Atau hadits :
Dari Abu Umamah Al Baahiliy radiyallahu ‘anhu beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya air tidak ada sesuatupun yang dapat menajiskannya, kecuali yang mendominasi (mencemari) bau, rasa, dan warnanya”. Dikeluarkan oleh Ibnu Majah, didhoifkan oleh Abu Hatim.
Dalam riwayat Al Baihaqi, “Air itu thohur (suci dan mensucikan) kecuali jika air tersebut berubah bau, rasa, atau warna oleh najis yang terkena padanya.”
Bagian pertama hadits adalah shahih, sedangkan bagian akhirnya adalah dho’if. Ungkapan “Sesungguhnya air tidak ada sesuatupun yang menajiskannya” telah ada dasarnya di hadits bi’ru bidho’ah.
Setelah kita mengetahui jalan pengambilan pendapat di atas, maka kita akan mengetahui, bahwa perbedaan terjadi dari sudut pandang para Imam Madzhab dalam mengambil dalil yang ada. Selama dalil tersebut adalah shahih, maka tidak masalah perbedaan itu terjadi. Dan ternyata kita di atas telah disajikan bagaimana perbedaan itu ternyata juga sama-sama mengambil dari dalil yang shahih.
Jadi, jangan lagi kita mempermasalahkan perbedaan (khilafiyah) yang ada. Tetapi marilah kita mulai memperbaiki cara pandang kita terhadap perbedaan yang ada.

Dari cara pandang yang sinis dan tidak suka terhadap pendapat yang berbeda dengan kita, menjadi cara pandang yang bijaksana yang diliputi kasih sayang dan kecintaan terhadap sesama muslim.

Thaharah, Tata Cara Bersuci



A. Thaharah dengan Air, yaitu Wudhu dan Mandi




1. Wudhu

a. Tata caranya:




Dari Humran bekas budak 'Utsman bin 'Affan Radhiyallahu anhu :







أَنَّ عُثْمَانَ دَعَا بِوَضُوْءٍ فَتَوَضَّأَ: فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْثَرَ، ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْمِرْفَقِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُسْرَى مِثْلَ ذلِكَ، ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ، ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْكَعْبَيْنِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ غَسَلَ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوْئِ هذَا ثُمَّ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوْئِ هَذَا ثُمَّ قَامَ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ لاَ يُحَدِّثُ فِيْهِمَا نَفْسَهُ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.

"'Utsman bin 'Affan Radhiyallahu anhu minta diambilkan air wudhu lalu berwudhu. Dia basuh kedua telapak tangannya tiga kali. Kemudian berkumur-kumur dan menghirup air ke hidung lalu mengeluarkannya. Lalu membasuh wajahnya tiga kali, kemudian membasuh tangan kanannya hingga ke siku tiga kali, begitupula dengan tangan kirinya. Setelah itu, ia usap kepalanya lantas membasuh kaki kanannya hingga ke mata kaki tiga kali, begitupula dengan kaki kirinya. Dia kemudian berkata, ‘Aku pernah melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berwudhu sebagaimana wudhuku ini, kemudian Rasulullah bersabda, ‘Barangsiapa berwudhu seperti wudhuku ini, kemudian shalat dua raka'at dan tidak berkata-kata dalam hati [1] dalam kedua raka'at tadi, maka diampunilah dosa-dosanya yang telah lalu.’"




Ibnu Syihab mengatakan bahwa ulama-ulama kita berkata, "Wudhu ini adalah wudhu paling sempurna yang dilakukan seseorang untuk shalat." [2]




b. Syarat sahnya:

1. Niat

Berdasarkan sabda beliau Shallallahu alaihi wa sallam :




إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ.




"Sesungguhnya perbuatan itu tergantung pada niat." [3]




Tidak disyari'atkan mengucapkannya, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah mengerjakannya.




2. Mengucap basmalah

Berdasarkan sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam :




لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ وُضُوْءَ لَهُ، وَلاَ وُضُوْءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللهِ عَلَيْهِ.




"Tidak sah shalat seseorang tanpa wudhu. Dan tidak ada wudhu untuk seseorang yang tidak menyebut nama Allah." [4]




3. Berkesinambungan (tidak terputus)

Berdasarkan hadits Khalid bin Ma'dan:




أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى رَجُلاً يُصَلِّي وَفِيْ ظَهْرِ قَدَمِهِ لُمْعَةً قَدْرَ الدِّرْهَمِ لَمْ يُصِبْهَا الْمَاءُ فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُعِيْدَ الْوُضُوْءَ وَالصَّلاَةَ.




"Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melihat seorang laki-laki sedang melakukan shalat, sedangkan pada punggung telapak kakinya ada bagian sebesar uang dirham yang tidak terkena air. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam lantas menyuruhnya mengulang wudhu dan shalatnya." [5]




c. Rukun-rukunnya:

1, 2. Membasuh wajah, termasuk berkumur dan menghirup air melalui hidung.

3. Membasuh kedua tangan hingga siku.[6]

4, 5. Mengusap seluruh kepala. Dan telinga termasuk kepala.

6. Membasuh kedua kaki hingga mata kaki.




Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:




يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ




“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki...” [Al-Maa-idah: 6]




Adapun berkumur dan menghirup air ke dalam hidung, maka disebabkan keduanya masih termasuk wajah, hingga wajiblah keduanya. Karena Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memerintahkan membasuhnya dalam Kitab-Nya yang mulia. Dan telah valid bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melakukannya dalam wudhu secara terus-menerus. Semua yang meriwayatkan serta menjelaskan tata cara wudhu beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga menyebutkannya. Itu semua menunjukkan bahwa membasuh wajah yang diperintahkan dalam al-Qur-an adalah dengan berkumur dan menghirup air ke dalam hidung. [7]




Juga terdapat perintah mengerjakan keduanya dari beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam :




إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فَلْيَجْعَلْ فِي أَنْفِهِ مَاءً ثُمَّ لِيَسْتَنْثِرْ.




"Jika salah seorang di antara kalian berwudhu, jadikanlah (hiruplah) air ke dalam hidungnya, lalu semburkanlah." [8]




Dan sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam :




وَبَالِغْ فِي اْلاِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ صَائِمًا.




"Hiruplah air ke hidung dengan sangat, kecuali jika kau sedang berpuasa."[9]




Juga sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam :




إِذَا تَوَضَّأْتَ فَمَضْمِضْ.




"Jika engkau berwudhu, maka berkumurlah." [10]




Wajib mengusap kepala secara merata, karena perintah mengusap dalam al-Qur-an masih global. Maka penjelasannya dikembalikan ke Sunnah. Disebutkan dalam ash-Shahihain dan yang lainnya bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengusap kepala beliau secara merata. Di sini terdapat dalil atas wajibnya mengusap kepala secara sempurna.




Jika ada yang berkata, "Dalam hadits al-Mughirah disebutkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengusap ubun-ubun dan bagian atas sorban beliau?"




Jawabannya, "Beliau mencukupkan mengusap ubun-ubun saja karena membasuh sisa kepala telah sempurna dengan mengusap bagian atas sorban. Inilah pendapat kami. Bukan berarti ini adalah dalil atas bolehnya mencukupkan mengusap ubun-ubun atau sebagian kepala tanpa menyempurnakannya dengan mengusap bagian atas sorban." [11]




Kesimpulannya, wajib mengusap kepala secara merata. Dan orang yang mengusap, jika suka, dia boleh mengusap kepala saja, atau bagian atas sorban saja, atau boleh juga kepala dan bagian atas sorban. Semuanya benar dan ada dalilnya.




Kedua telinga adalah bagian dari kepala. Maka wajib mengusap keduanya. Dasarnya adalah sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam :




اَلأُذُنَانِ مِنَ الرَّأْسِ.




"Kedua telinga adalah bagian dari kepala." [12]




7. Menyela-nyela jenggot

Berdasarkan hadits Anas bin Malik Radhiyallahu anhu : "Jika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berwudhu, beliau ambil segenggam air lalu memasukkannya ke bawah dagunya. Dengan air itu beliau sela-selai jenggotnya. Beliau lantas bersabda:




هكَذَا أَمَرَنِي رَبِّيعز عزوجل .




"Begitulah Rabb-ku Azza wa Jalla memerintahku." [13]




8. Menyela-nyelai jari-jemari kedua tangan dan kaki

Berdasarkan sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam :




أَسْبِغِ الْوُضُوْءَ، وَخَلِّلْ بَيْنَ اْلأَصَابِعِ، وَبَالِغْ فِي اْلاِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ صَائِمًا.




"Sempurnakanlah wudhu, sela-selai jari-jemari, dan hiruplah air ke dalam hidung dengan kuat, kecuali jika engkau sedang berpuasa."




d. Sunnah-Sunnah Wudhu

1. Bersiwak

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:




لَوْ لاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِيْ َلأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ مَعَ الْوُضُوْءِ.




"Seandainya tidak memberatkan umatku, niscaya kuperintahkan mereka bersiwak tiap kali berwudhu."




2. Membasuh kedua telapak tangan tiga kali pada awal wudhu

Dasarnya adalah riwayat dari 'Utsman Radhiyallahu anhu dalam ceritanya tentang tata cara wudhu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Beliau membasuh kedua telapak tangannya tiga kali."




3. Menggabungkan berkumur dan menghirup air ke dalam hidung dengan segenggam air sebanyak tiga kali.

Dasarnya adalah hadits 'Abdullah bin Zaid saat dia mengajarkan wudhu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salla : "Beliau berkumur dan menghirup air ke dalam hidung dari satu genggam tangan. Dan beliau melakukannya sebanyak tiga kali." [14]




4. Melakukan keduanya dengan sangat bagi yang tidak puasa

Dasarnya adalah sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam :




وَبَالِغْ فِي اْلاِسْتِنْشَاقِ إِلاَّّ أَنْ تَكُوْنَ صَائِمًا.




"Hiruplah air ke dalam hidung dengan kuat, kecuali jika engkau sedang puasa."




5. Mendahulukan yang kanan daripada yang kiri

Berdasarkan hadits 'Aisyah Radhiyallahu anhuma :




كَـانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحِبُّ التَّيَـامُنُ فِيْ تَنَعُّلِهِ وَتَرَجُّلِهِ وَطَهُوْرِهِ وَفِيْ شَأْنِهِ كُلِّهِ.




"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam suka mendahulukan bagian kanan saat memakai sandal, menyisir rambut, bersuci, dan dalam semua hal." [15]




Juga dalam kisah 'Utsman saat menceritakan tata cara wudhu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Beliau membasuh bagian kanan kemudian bagian kiri."




6. Menggosok

Berdasarkan hadits 'Abdullah bin Zaid: "Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam diberi tiga mudd air. Beliau lalu berwudhu dan menggosok kedua tangannya."[16]




7. Membasuh tiga kali

Berdasarkan hadits 'Utsman Radhiyallahu anhu : "Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam wudhu dengan membasuh tiga kali."




Ada juga dalil shahih yang menyatakan bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah wudhu dengan membasuh sekali atau dua kali. [17]




Disunnahkan mengulang usapan kepala secara kadang-kadang.




Berdasarkan riwayat shahih dari 'Utsman. Bahwa dia berwudhu lalu mengusap kepala tiga kali. Dia kemudian berkata: "Aku melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berwudhu seperti ini." [18]




8. Berurutan

Karena begitulah kebanyakan wudhu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sebagaimana dikisahkan orang yang menceritakan tata cara wudhu beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Namun terdapat riwayat shahih dari al-Miqdam bin Ma'dikarib: "Dia membawakan air wudhu untuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau lantas berwudhu dan membasuh kedua telapak tangannya tiga kali. Membasuh wajahnya tiga kali, lalu membasuh kedua tangannya tiga kali. Beliau kemudian berkumur dan (menghirup air ke dalam hidung lalu) menyemburkannya. Setelah itu mengusap kepala dan kedua telinganya..." [19]




9. Berdo’a setelah selesai

Berdasarkan sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Tidaklah seorang di antara kalian berwudhu, lalu menyempurnakan wudhunya, kemudian berdo’a:




أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.




"Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak dibadahi dengan benar kecuali Allah. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya." Melainkan dibukakan baginya delapan pintu Surga. Dia memasukinya dari arah mana saja yang ia kehendaki." [20]




At-Tirmidzi menambahkan:




اَللّهُمَّ اجْعَلْنِيْ مِنَ التَّوَّابِيْنَ وَاجْعَلْنِيْ مِنَ الْمُتَطَهِّرِيْنَ.




"Ya Allah, jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertaubat. Dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bersuci." [21]




Dari Abu Sa'id, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa berwudhu lalu mengucap:




سُبْحَانَكَ اللّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ.




"Mahasuci dan Terpuji Engkau ya Allah. Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Engkau. Aku memohon ampunan dan bertaubat kepada-Mu." Niscaya ditulislah dalam lembaran putih, lalu dicap dengan sebuah stempel yang tidak akan rusak hingga hari Kiamat." [22]




10. Shalat dua raka'at setelahnya

Berdasarkan hadits 'Utsman Radhiyallahu anhu setelah mengajari mereka tata cara wudhu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Aku melihat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berwudhu sebagaimana wudhuku ini. Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:




مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوُ وُضُوْئِـي هذَا، ثُمَّ قَـامَ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ لاَ يُحَدِّثُ فِيْهِمَا نَفْسُهُ، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.

"Barangsiapa berwudhu sebagaimana wudhuku ini, lalu shalat dua raka'at, sedang dia tidak berkata-kata dalam hati (tentang urusan dunia) ketika melakukannya, maka diampunilah dosa-dosanya yang telah lalu."




Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepada Bilal ketika hendak shalat Shubuh, "Wahai Bilal, beritahulah aku amalan yang paling engkau harapkan (pahalanya) yang engkau kerjakan dalam Islam. Karena sesungguhnya aku mendengar suara kedua sandalmu di hadapanku di Surga." Dia menjawab, "Tidaklah aku melakukan amalan yang paling aku harapkan (pahalanya). Hanya saja, aku tidaklah bersuci, baik saat petang maupun siang, melainkan aku shalat (sunnah) dengannya apa-apa yang sudah dituliskan (ditakdir-kan) tentang shalatku."